BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan
dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional
disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan
bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap
pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang
dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai
tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan
tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan
publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar
hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang
menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu
tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta
disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut
ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah
menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah
maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar
kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu
yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan
harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi
pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang
besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan
persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada
yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan
suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan
dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan
kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya
diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang
pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah
suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang
diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka
panjang dan menyeluruh.
Menurut Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang
dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan
publik, yaitu :
1. Apakah
model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat memahami
hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan lebih
jelas.
2. Apakah
model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.
3. Apakah
model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.
4. Apakah
model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita semua
dapat mengerti.
5. Apakah
model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.
6. Apakah
model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.
Ketika kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami
multiplisitas fktor dan kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita
mesti menyusun model, pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini
mencakup kerangka tempat kita berpikir dan menjelaskan
2.2 MODEL
KEBIJAKAN MENURUT THOMAS D RYE
1. Model
Elitis/Policy as Elite Preference
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat
dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas
R. Dye dan Harmon memberikan ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu[3] :
1. Masyarakat
terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan massa yang
tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang
mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan
kebijakan.
2. Kelompok
kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang
dipengaruhi. Para elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat
yang ekonominya tinggi.
3. Perpindahan
dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan untuk
memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang
telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran
kaum elit.
4. Elit
memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.
5. Kebijakan
publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.
6. Para
elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang
apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan
kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang
banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan
sebaliknya. Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang
keras pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara
merata. Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke
bawah, yaitu dari kaum elit ke massa (rakyat).
2. Model
Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model
Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi
antar kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik.
Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan yang sama biasanya
akan bergabung baik secara formal maupun informal untuk mendesakan
kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini, perilaku individu
akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atas nama
kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting antara
individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah
perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan
publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik mempunyai tugas untuk
mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar kelompok tersebut, dengan
cara :
1. Menetapkan
aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
2. Mengatur
kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3. Memberlakukan
kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;
4. Memaksakan
kompromi tersebut.
Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik
terbentuk dari pengaruh sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam
model ini adalah gagasan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis
komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan.[4] Padangan
Pluralis menurut Robert Dahl dan David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1. Kekuasaan
merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain
dalam proses pembuatan keputusan.
2. Hubungan
–hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan
lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut
dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan
ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika
keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3. Tidak
ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu yang
sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
4. Kepemimpinan
bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
5. Terdapat
banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang
mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6. Kompetisi
dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut
dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara
kompetisi pemimpin politik.
Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan
keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu
tertentu dan kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau
kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang
menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut
ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses
terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.
3. Model
Sistem/ Policy as System output
Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model
pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan
para pembuat para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini
mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka
dan dinamis antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang
terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs).
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai
tanggapan dari suatau sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul
dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar
batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi
sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs) bagi sistem
politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang
merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai
keluaran (outputs) dari sistem politik. Sistem politik adalah
sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi
secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat.
Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai
secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan
publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari
suatu sistem politik. Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan
kegiatan yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah
tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya
saling hubungan antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai
kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima
oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.
Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu
sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik
dan memberlakukan penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem
dibangun berdasarkan elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini
bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan
melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :
1. Menghasilkan
outputs yang secara layak memuaskan;
2. Menyandarkan
diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;
3. Menggunakan
atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).
Menurut Thomas R. Dye, dengan teori sistem ini dapat
diperoleh petunjuk mengenai[5] :
1. Dimensi-dimensi
lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik ?
2. Ciri-ciri
sistem politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah
tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan publik dan berlangsung terus-menerus ?
3. Dengan
cara yang bagaimana masukan-masukan yang bersasal dari lingkungan mempengaruhi
sistem politik?
4. Ciri-ciri
sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan publik?
5. Bagaimanakah
masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi kebijakan publik?
6. Bagaimanakah
kebijakan publik melalui mekanisme umpan balik mempengaruhi lingkungan dan
sistem politik itu sendiri ?
4. Model
Rasional Komprehensif/ Policy as
Efficient Goal Achievement.
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan
keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan
keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional
adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai
dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan
dengan alternatif-alternatif yang lain.
Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat
kebijakan yang rasional, harus :
1. Mengetahui
semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2. Mengatahui
semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3. Mengetahui
semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4. Memperhitungkan
rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif
kebijakan.
5. Memilih
alternatif kebijakan yang paling efisien.
Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1. Pembuat
keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat
dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat
dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2. Tujuan,
nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun
menurut arti pentingnya.
3. Berbagai
alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4. Konsekunsi
(biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5. Setiap
alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan
alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi
yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu
keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan
tertentu.
Namun ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu
:
1. Para
pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan
jelas. Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal
mendefinisikan masalah dengan jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk
menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat.
2. Tidak
realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut model
ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif yang
digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat keputusan
seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan masalah yang
membutuhkan penanganan sesegera mungkin.
3. Para
pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada
kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah
diperbandingkan atau diukur bobotnya.
4. Pada
kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk
menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka
mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.
5. Para
pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga
menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang
tinggi.
6. Investasi
yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak
mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan
sebelumnya.
7.
Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan
untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari
masing-masing alternatif.
5. the Past
Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik
sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada
masa lampau dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model
ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam
membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari
model penambahan, yakni :
1. Pemilihan
tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2. Para
pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal
dengan kebijakan yang sudah ada.
3. Untuk
setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi
yang dianggap penting saja.
4. Masalah
yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5. Tidak
ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6. Pembuatan
keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan
diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang
nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan
kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya
partisipan, keputusan akan lebih mudah dicapai bila persoalan yang
disengketakan oleh berbagai kelompok hanya merupakan perubahan terhadap
program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut perubahan kebijakan
besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan keputusan secara
inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara
stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Dalam pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam
menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan
dengan konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan
inkrementalis dapat mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.
7. Game
Teori/ Policy as Rational Choice
Competitive Situations.
Menurut Thomas R. Dye, teori ini bertitik tolak pada 3
(tiga) hal pokok, yaitu :
1. Kebijakan
yang akan diambil bergantung pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau lebih;
2. Kebijakan
yang dipilih ditarik dari dua atau lebih alternatif pemecahan yang diajukan
oleh masing-masing pemain;
3. Pemain-pemain
selalu dihadapkan pada situasi yang serba bersaing dalam pengambilan keputusan.
Menurut model ini pilihan kebijakan akan dijatuhkan pada
pilihan yang saling menguntungkan, dimana pembuat kebijakan senantiasa
dihadapkan pada pilihan yang saling bergantung.
8. Policy as Institutional Activity
Model ini memandang kebijakan publik sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Menurut pandangan
model ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga negara, baik yang dilakukan
secara perseorangan maupun kelompok pada umumnya ditujukan pada lembaga
pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan, dan dilaksanakan serta dipaksakan
berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam model ini yang membentuk kebijakan
publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, dilain pihak,
betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila tidak mendapat perhatian dari
lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan menjadi kebijakan publik.
Lembaga pemerintah memberikan karakteristik berbeda dalam
kebijakan publik, yaitu :
1. Pemerintah
memberikan legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.
2. Kebijakan-kebijakan
pemerintah memerlukan universalitas.
Dengan demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua
warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh
masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong
individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam
kebijakan.
2.3 MODEL
KEBIJAKAN YANG IDEAL UNTUK INDONESIA
Menurut analisi dari kami bahwa
Negara kita paling ideal dapat menggunakan monel kebijakan dar Thomas r
dye yakni
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional
dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat
keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu
kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan
nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan
alternatif-alternatif yang lain.
Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat
kebijakan yang rasional, harus :
1. Mengetahui
semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2. Mengatahui
semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3. Mengetahui
semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4. Memperhitungkan
rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif
kebijakan.
5. Memilih
alternatif kebijakan yang paling efisien.
Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1. Pembuat
keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat
dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat
dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2. Tujuan,
nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun
menurut arti pentingnya.
3. Berbagai
alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4. Konsekunsi
(biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5. Setiap
alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan
alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi
yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu
keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan
tertentu.
Hal ini dikarenakan bahwa dengan
melihat tingkat rasional kita bisa memahami keadaan yang paling dibutuhkan pada
suatu daerah khususnya INDONESIA, selain itu kita bisa dapat membandingkan tingkat Anggaran Negara
dengan kebijakan yang diterapkan
Bahwasanya Indonesia bukanlah
Negara superpower oleh karena itu kita perlu memilah mana saja kebijakan yang
sesuai dan dominan dengan keadaan wilayah sehingga diharapkan kebijakan yang
keluar nantinya bisa berjalan secara efisien untuk Negara tersebut
Pada dasarnya tidak semua aspirasi
dapat dilaksanakan namun dengan terori model ini kita dapat menarik kesimpulan dari kebijakan
yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi juga anggaran yang tersedia
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang
terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan
tertentu.Model adalah wakil ideal dari situasi-situasi dunia nyata.Model adalah
menyederhanakan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan atas
model fisik dan model abstrak. Model memiliki fungsiantara lain: Membantu
kita untuk memperoleh pemahaman tentang peroperasinya sistem alamiah atau
system buatan manusia. Model membantu kita menjelaskan sistem apa, dan
bagaimana sistem tersebut beroperasi, membantu kita dalam menjelaskan
permasalahan dan memilah-milah elemen-elemen tertentu yang relevan dengan
permasalahan, membantu kita memperjelas hubungan antara elemen-elemen tersebut,
membantu kita dalam merumuskan kesimpulan dan hipotesis mengenai hakekat
hubungan antar elemen. Selain fungsi yang di miliki model, model kebijakan
juga memiliki jenis yaitu model pluralis, elitis, sistem, rasional,
inskrementalis, dan institusional. Sedangkan untuk pendekatan kebijakan juga
memiliki berbagai macam yaitu pendekatan kelompok, proses fungsional,
kelembagaan, peran serta warga negara, psikologis, proses, subtantip,
logis-positivis, ekonomentrik, Fenomenologik/Pospositivis,
partisipatori, Normatif/Preskriptif, ideologik,Historis.
B. SARAN
Dalam sebuah kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah dan
telah direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya merupakan sebuah kebijakan
yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena kebijakan tersebut
mampu menanggulangi krisis dan ketimpangan serta masalah-masalah yang ada dalam
masyarakat, akan tetapi ada kalanya dalam pemerintah membuat sebuah kebijakan
tidak diterima oleh masyarakat karena kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai
dengan kondisi dan situasi yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, saran
dalam makalah ini adalah sebaiknya pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan
hendaklah melihat realita dalam masyarakat sehingga kebijakan yang akan
ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat dan kebijakan tersebut dapat menjadi
solusi yang tepat bagi problematika dalam masyarakat tersebut.
Daftar
Pustaka
AG.Subarsono.
2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budi
Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
Dr.
Syafaruddin, M.Pd, 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Edi
Suharto, Ph.D, 2010, Analisa Kebijakan Publik panduan praktis mengkaji masalah
dan kebijakan public, Bandung:Alfabeta.
Miftah
toha. 2005. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Aministrasi Negara. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Riant
Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Riant
Nugroho. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.
William
N. Dunn, 1999, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press.