Rabu, 12 Desember 2012

MAKALAH ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

BAB II
PEMBAHASAN

2.1        PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7). 
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati. 
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4). 
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Menurut Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :
1.      Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat memahami hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan lebih jelas.
2.      Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.
3.      Apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.
4.      Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita semua dapat mengerti.
5.      Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.
6.      Apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.
Ketika kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model, pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat kita berpikir dan menjelaskan

2.2  MODEL KEBIJAKAN MENURUT THOMAS D RYE
1. Model Elitis/Policy as Elite Preference
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu[3] :
1.      Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2.      Kelompok kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang dipengaruhi.  Para elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat yang ekonominya tinggi.
3.      Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran kaum elit.
4.      Elit memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.
5.      Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.
6.      Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya.  Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata. Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari kaum elit ke massa (rakyat).

2. Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal maupun informal untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini, perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting antara individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik mempunyai tugas untuk mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar kelompok tersebut, dengan cara :
1.      Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
2.      Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3.      Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;
4.      Memaksakan kompromi tersebut.

Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan.[4] Padangan Pluralis menurut Robert Dahl dan David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1.      Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
2.      Hubungan –hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3.      Tidak ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
4.      Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
5.      Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6.      Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi pemimpin politik.
Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.

3. Model Sistem/ Policy as System output
Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs).

Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs) bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik.

Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya saling hubungan antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.

Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem dibangun berdasarkan elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :
1.      Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan;
2.      Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;
3.      Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).

Menurut Thomas R. Dye, dengan teori sistem ini dapat diperoleh petunjuk mengenai[5] :
1.      Dimensi-dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik ?
2.      Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan publik dan berlangsung terus-menerus ?
3.      Dengan cara yang bagaimana masukan-masukan yang bersasal dari lingkungan mempengaruhi sistem politik?
4.      Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan publik?
5.      Bagaimanakah masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi kebijakan publik?
6.      Bagaimanakah kebijakan publik melalui mekanisme umpan balik mempengaruhi lingkungan dan sistem politik itu sendiri ?

4. Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.      Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.      Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.      Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5.      Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.      Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.  Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.      Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3.      Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.      Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5.      Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :
1.      Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan jelas.  Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan masalah dengan jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat.
2.      Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif yang digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan masalah yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin.
3.      Para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah diperbandingkan atau diukur bobotnya.
4.      Pada kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.
5.      Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi.
6.      Investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan sebelumnya.
7.       Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari masing-masing alternatif.

5. the Past
Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni :
1.      Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2.      Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3.      Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
4.      Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5.      Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6.      Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya merupakan perubahan terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.

Dalam pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.

7. Game Teori/ Policy as Rational Choice Competitive Situations.
Menurut Thomas R. Dye, teori ini bertitik tolak pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu :
1.      Kebijakan yang akan diambil bergantung pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau lebih;
2.      Kebijakan yang dipilih ditarik dari dua atau lebih alternatif pemecahan yang diajukan oleh masing-masing pemain;
3.      Pemain-pemain selalu dihadapkan pada situasi yang serba bersaing dalam pengambilan keputusan.
Menurut model ini pilihan kebijakan akan dijatuhkan pada pilihan yang saling menguntungkan, dimana pembuat kebijakan senantiasa dihadapkan pada pilihan yang saling bergantung.


8. Policy as Institutional Activity
Model ini memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Menurut pandangan model ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga negara, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan, dan dilaksanakan serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam model ini yang membentuk kebijakan publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, dilain pihak, betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila tidak mendapat perhatian dari lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan menjadi kebijakan publik.

Lembaga pemerintah memberikan karakteristik berbeda dalam kebijakan publik, yaitu :
1.      Pemerintah memberikan legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.
2.      Kebijakan-kebijakan pemerintah memerlukan universalitas.
Dengan demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.



2.3  MODEL KEBIJAKAN YANG IDEAL UNTUK INDONESIA
Menurut analisi dari kami bahwa Negara kita paling ideal dapat menggunakan monel kebijakan dar Thomas r dye  yakni
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.      Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.      Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.      Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5.      Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.      Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.  Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.      Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3.      Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.      Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5.      Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Hal ini dikarenakan bahwa dengan melihat tingkat rasional kita bisa memahami keadaan yang paling dibutuhkan pada suatu daerah khususnya INDONESIA, selain itu kita bisa  dapat membandingkan tingkat Anggaran Negara dengan kebijakan yang diterapkan
Bahwasanya Indonesia bukanlah Negara superpower oleh karena itu kita perlu memilah mana saja kebijakan yang sesuai dan dominan dengan keadaan wilayah sehingga diharapkan kebijakan yang keluar nantinya bisa berjalan secara efisien untuk Negara tersebut
Pada dasarnya tidak semua aspirasi dapat dilaksanakan namun dengan terori model ini  kita dapat menarik kesimpulan dari kebijakan yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi juga anggaran yang tersedia






BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu.Model adalah wakil ideal dari situasi-situasi dunia nyata.Model adalah menyederhanakan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan atas model fisik dan model abstrak. Model memiliki fungsiantara lain: Membantu kita untuk memperoleh pemahaman tentang peroperasinya sistem alamiah atau system buatan manusia. Model membantu kita menjelaskan sistem apa, dan bagaimana sistem tersebut beroperasi, membantu kita dalam menjelaskan permasalahan dan memilah-milah elemen-elemen tertentu yang relevan dengan permasalahan, membantu kita memperjelas hubungan antara elemen-elemen tersebut, membantu kita dalam merumuskan kesimpulan dan hipotesis mengenai hakekat hubungan antar elemen. Selain fungsi yang di miliki model, model kebijakan juga memiliki jenis yaitu model pluralis, elitis, sistem, rasional, inskrementalis, dan institusional. Sedangkan untuk pendekatan kebijakan juga memiliki berbagai macam yaitu pendekatan kelompok, proses fungsional, kelembagaan, peran serta warga negara, psikologis, proses, subtantip, logis-positivis, ekonomentrik, Fenomenologik/Pospositivis, partisipatori, Normatif/Preskriptif, ideologik,Historis. 



B.     SARAN
    Dalam sebuah kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah dan telah direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya merupakan sebuah kebijakan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena kebijakan tersebut mampu menanggulangi krisis dan ketimpangan serta masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, akan tetapi ada kalanya dalam pemerintah membuat sebuah kebijakan tidak diterima oleh masyarakat karena kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, saran dalam makalah ini adalah sebaiknya pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan hendaklah melihat realita dalam masyarakat sehingga kebijakan yang akan ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat dan kebijakan tersebut dapat menjadi solusi yang tepat bagi problematika dalam masyarakat tersebut.











Daftar Pustaka
AG.Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Dr. Syafaruddin, M.Pd, 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Edi Suharto, Ph.D, 2010, Analisa Kebijakan Publik panduan praktis mengkaji masalah dan kebijakan public, Bandung:Alfabeta.

Miftah toha. 2005. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Aministrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Riant Nugroho. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.

William N. Dunn, 1999, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.


MASIH PERLUKAN STAF AHLI DI PEMRINTAHAN


Jabatan Staf Ahli dalam roda pemerintahan sesungguhnya merupakan jabatan yang sangat strategis, karena merupakan “otak” atau “konsultan” kepala daerah di bidang tertentu atau istilah kerennya ‘Tim Kreator Pemerintah Daerah’.  Keberadaannya  diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengambil kebijakan yang tepat mengenai program pembangunan yang akan dijalankan sesuai dengan kekhususan bidangnya. Staf Ahli Kepala Daerah merupakan suatu jabatan baru yang diamanatkan PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permendagri 57 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.

Terbentuknya jabatan ini dilatarbelakangi terpilihnya kepala daerah yang berasal dari berbagai kalangan, sehingga tidak semua kepala daerah memiliki pengalaman di bidang pemerintahan.  Untuk itu, dibutuhkan pendamping kepala daerah yang dapat memberikan saran pertimbangan terkait bidang politik, hukum, pemerintahan, perekonomian dan keuangan serta kependudukan dan sumber daya manusia.
Staf ahli, pada level lembaga atau organisasi macam apapun memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan penyediaan informasi dan analisis yang perlu dilakukan guna pembuatan keputusan tertentu.
Dalam perspektif kebijakan publik, staf ahli merupakan seorang analisis kebijakan yang berfungsi memberikan masukan atau rekomendasi (policy  adviser) yang biasanya dalam bentuk policy paper, kepada top manager  atau pada tataran pemerintah daerah peran staf ahli adalah sebagai  policy adviser bagi Kepala Daerah.

Paling tidak ada 3 (tiga) alasan mengapa keberadaan staf ahli  pemerintah daerah diperlukan : (1) Meningkatnya kompleksitas persoalan  yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah; (2) Adopsi nilai-nilai  demokrasi yang membuat pemerintah daerah harus makin transparan,  responsif dan partisipatif di dalam membuat kebijakan; (3) Makin  terbatasnya berbagai sumberdaya yang menuntut penggunaan sumberdaya  tersebut secara bijak dengan perumusan kebijakan yang akurat.

Namun pada kenyataannya ada anggapan yang berpendapat, bahwa jadi staf ahli berarti masuk kotak. Namun ada juga yang menganggap jadi staf ahli artinya sedang diparkir sementara, sambil menunggu jabatan SKPD yang lowong. Setelah ada jabatan yang lowong, maka pejabat yang bersangkutan dikembalikan ke SKPD kembali. Selain itu jabatan dari staf ahli adalah jabatan yang tidak jelas karena kepala pemerintah jarang menggunakan stah ahli dalam menentukan suatu kebijakan yang vital malah lebih banyak berkoordinasi dengan wakil kepala pemerintahn dan sekretarisnya sendiri

Hal ini akan hanya membuang- buang anggaran dalam belanja pegawai karena fungsi yang tidak jelas karena tupoksi tidak begitu terlihat walaupun diaturan semua itu jelas namun pada kenyataan kita lihay nbanyak staf ahli adalah buangan dari skpd yang tidak memiliki kompetensi yang diletakkan dalam unsure staf ahli
Bila hal ini terus di pertahankan malah akan terjadi pemborosan pengeluaran mengaji orang yang tidak berkompeten dalam organisasi dengan golongan tinggi dan eslon yang yang tinggi bagusnya kita gunakan untuk membangun dan meningkatatkan kesejahteraan masyarakat karena yang lebih penting dalam suatu daerah
        
Namun sebenarnya anggapan tersebut tidak benar, karena staf ahli memiliki peranan penting dalam memberikan masukan terhadap kebijakan daerah seorang walikota/bupati, Merujuk pada PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Pasal 36 ayat (3) PP Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, bupati/walikota dari pegawai negeri sipil.
 Mereka dikoordinir oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Secara struktural, staf ahli gubernur masuk eselon II a, sedangkan staf ahli bupati/walikota masuk eselon II b. Tugas dan fungsi staf ahli sepenuhnya diserahkan kepada kepala daerah. Syaratnya, tugas dan fungsi mereka harus di luar tugas dan fungsi perangkat daerah yang ada.  Staf ahli berperan mengurai jalur birokrasi yang berbelit-belit jika seorang kepala daerah ingin menjalankan program. Jika semata-mata mengandalkan birokrat, bisa saja program kepala daerah tidak terlaksana dengan baik.

Hal perlu kita disadari bahwa setiap organisasi memiliki tugas dan funsinya sendiri dalam ranah suatu pemrintahan , meraka yang diamanatkan berarti mampu menduduki dan memberikan arah perubahan terhadap suatu pemerintahan, namun pada kenyataannya kita lihat contoh dari unsur staf ahli itu sendiri  banyak memandanng sebelah mata kepala
Jarangnya kepala pemrintah menggunakan stah ahli dalam mengatur sebuah kebijakan membuat staf ahli jarang menggunakan perannya dalam memberikan tanggapan dalam mengarahkan kepala daerah dalam menentukkan kebijakan
dalam  Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Staf Ahli Kepala Daerah se-Indonesia yang merupakan forum komunikasi staf ahli kepala daerah se-Indonesia.  Dalam Rakernas ini para staf ahli dapat bertukar pikiran, pengalaman yang akhirnya akan memberi inspirasi para staf ahli untuk memberi masukan kepada para kepala daerahnya masing-masing melalui telaahan-telaahan.
Rakernas kelima dilaksanakan tanggal 13 sampai 15 Juni 2011 di Swiss-Belhotel Maleosan, Manado.  Dimana pembukaan dilakukan oleh Sekjen Kemendagri, Ibu Diah Anggraeni, bertempat di Guest House Gubernuran Bumi Beringin, Manado Senin, 13 Juni 2011, pukul 19.30 WITA.  Dalam sambutannya Ibu Diah mengatakan, bahwa bahwa tujuan Rakernas kali ini adalah untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan staf ahli kepala daerah yang meliputi kelembagaan dan individual dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan kewajiban kepala daerah secara maksimal dalam upaya-upaya percepatan penanggulangan kemiskinan.

Sebagaimana diketahui bahwa percepatan penanggulangan kemiskinan merupakan issu strategis dan sekaligus menjadi prioritas pembangunan nasional Tahun 2009-2014 yang harus tertuang dalam setiap rencana kerja daerah.   Hal ini sejalan dengan Tema Rakernas, yakni “Meningkatkan kapasitas staf ahli kepala daerah dalam rangka mendukung percepatan penanggulangan kemiskinan”.

Beberapa dirjen yang menjadi narasumber dalam Rakernas tersebut diantaranya,  Pengarahan oleh Sekjen Kemendagri, Pemaparan makalah/materi seminar masing-masing, Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dirjen Otonomi Daerah, Dirjen Kesbangpol dan Dirjen Keuangan Daerah. Selain itu juga dilakukan sesi diskusi , yang ditutup dengan  Perumusan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Mendagri berkaitan dengan penguatan kelembagaan dan personil Staf Ahli Kepala Daerah. Peserta Rakernas cukup banyak, yakni sejumlah 435 orang yang terdiri dari staf ahli gubernur, staf ahli bupati dan kepala biro umum provinsi.

Tapi yang jelas bagaimana kepala daerah dan stafahli menyikapai ini semua, apabila kepala pemerintah paham dengan tupoksi staf ahli mereka akan mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatn tersebut membantunya dalam menalisis seatu kebijakan tapi jika tidak, semua akan sama bahwa jabatan stafahli hanyalah jabatan masuk kotak dan tidak layak lagi dalam menjadi unsure organisasi pemritahan dan perlu direvisi kembali, begitupun dengan oarng- orang yang berada dalam unsur staf ahli bila apabila mereka beranggapan kalau mereka itu penting merekan akan bekerja denga kompetensen untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal tapi  jika tidak sama hanya akan malah mengganggu roda pemerintahan saja, malah lebih baik anda pesiun saja dari pada menhabisin uang Negara

pertanyaan masih layakkan adanya stah ahli dalam organisasi pemrintahan ???


silahkan berpendapat namun sesuai dengan norma

PNS PADA ZAMAN SEKARANG

Indonesia adalah negara keempat didunia yang miliki jumlah populasi penduduk yang terbesar didunia , sehingga pasti banyak sumber daya manusi yang handal yang dapat membangun dan mengembangkan birokrasi pemerintahan Republik Indonesia yang diharapkan dapat melaksanakan tugas secara maksimal dalam pelaksanaan visi dan misi dari negara Indonesia

Dalam peraturan dijelaskan tiga pilar Pegawai Negara adalah TNI, POLRI dan PNS. berbicara soal pns merupakan obyek vital dalam pemerintahan karena pns merupakan otak di dalam pemerintahan karena dalam pembuatan kebijakan, pengimplemenatsian dan evaluasi juga monitoring itu semua adalah tupoksi dari Pegawai Negri Sipil (PNS) sehingga jelas subyek-subyek yang menjadi pns adalah orang-orang yang memiliki kapasitas yang luar biasa dari masyarakat lainnya karena skill yang mereka miliki berpengaruh terhadap perputar roda birokrasi pemerintaha 

Dengan perbandingan yang kecil lebih kurang 2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia justru diharapkan memberikan perubahan dalam birokrasi pemerintahan dan mampu membangun sistem pemerintahan yang ideal sesuai harapan bangsa, namun ironisnya dari 2 persen tersebut hanya 0,... persen yang mampu memberikan kinerja yang maksimal dalam pemerintahan sehingga menjadi pertanyaan besar dimana sekian persen lainnya,,,, hal ini senada diucapkan oleh beberapa pejabat daerah mengenai kinerja pns di daerah mereka

Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi faktor kenapa kinerja yang diharapkan belum maksimal sehingga implementasi dari program-program menjadi berhenti, hal ini dikarenakan
  1.  kelembagaan birokrasi yang besar namun sumber daya aparatur yang dimiliki kurang maksimal sehingga proses jalannya pemerintahan menjadi terhambat hal ini disebabkan karena penempatan posisi pada post-post  yang sesuai dengan kinerja dan kemampuan ditempat pada orang yang tidak selaras sehingga program -program yang menjadi wacana dalam menjalankannya terhambat dan akhirnya jadi mentahan program
  2. audit kinerja yang diprogram dengan harapan adanya perbaikan kenerja para birokrasi pemerintahan tidak terlaksana dengan baik hanya menganggap hal ini hanyalah kegiatan formalitas yang harus dilaksanakan sehingga hasi yang diharapkan pun tidak signifikan terhadapa perubahan kinerja pemerintahan
  3. kegiatan KKN yang menjadi kebudayaan birokrasi bukan menerapkan sistem good governance yang dijadikan dasarkan
  4. jabatan eselon-eselon yang diisi berdasarkan DUK (daftar urut kedekatan)
  5. sistem perampingan struktur  organisasi belum berani dikembangkan 
  6. PNS yang menjadi aktor politik
 Hal-hal ini yang menyebabkan kinerja PNS zaman sekarang menjadi lambat , dampak langsung yang ditimbulkan adalah roda perputaran pemerintah menjadi lambat dan tingkat kepuasaan masyrakat menjadi terganggu .Mekanisme ini perlu segera diubah dengan pola pengembangan perampingan SOTK pemerintahan ,sehingga kinerja lebih efektif dan efesien karena dengan perampingan membuat semngat kompetisi untuk pengisian jabatan lebih ideal dan pola audit kinerja yang dilaksakan haruslah tegas dan terprogram dengan baik bukan hanya kegiatan formalitas sehingga ada keseriusan dalam milihat kinerja dari dan juga pengisian jabatan dengan sistem pengetesan sehingga terjadi kejelasan siapa yang berhak menduduki jabatan sesuai dengan kemampuan mereka dan juga pengakan secara tegas terhadap reward dan punishment


  
  

Senin, 29 Oktober 2012

MAKALAH PELAYANAN PUBLIK

BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Profil Daerah Kabupaten Sragen
sr-07.jpeg
Kabupaten Sragen, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya terletak di Sragen, sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta Kabupaten Boyolali di barat.
Kabupaten ini dikenal dengan sebutan "Bumi Sukowati"[2], nama yang digunakan sejak masa kekuasaan Kerajaan (Kasunanan) Surakarta. Nama Sragen dipakai karena pusat pemerintahan berada di Sragen. Kawasan Sangiran merupakan tempat ditemukannya fosil manusia purba dan binatang purba, yang sebagian disimpan di Museum Fosil Sangiran.
Sejarah
Hari Jadi Kabupaten Sragen ditetapkan dengan Perda Nomor : 4 Tahun 1987, yaitu pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746. tanggal dan waktu tersebut adalah dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, ketika Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono yang ke- I menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda menuju bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.
Kronologi dan Prosesi
Pangeran Mangkubumi adik dari Sunan Pakubuwono II di Mataram sangat membenci Kolonialis Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak mengintervensi Mataram sebagai Pemerintahan yang berdaulat. Oleh karena itu dengan tekad yang menyala bangsawan muda tersebut lolos dari istana dan menyatakan perang dengan Belanda. Dalam sejarah peperangan tersebut, disebut dengan Perang Mangkubumen ( 1746 - 1757 ). Dalam perjalanan perangnya Pangeran Muda dengan pasukannya dari Keraton bergerak melewati Desa-desa Cemara, Tingkir, Wonosari, Karangsari, Ngerang, Butuh, Guyang. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Di Desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak. Desa Pandak, Karangnongko di jadikan pusat Pemerintahan Projo Sukowati, dan Beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat Pemerintahan.

Karena secara geografis terletak di tepi Jalan Lintas Tentara Kompeni Surakarta – Madiun, pusat Pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian sejak tahun 1746 dipindahkan ke Desa Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko.
Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya meliputi Desa Krikilan, Pakis, Jati, Prampalan, Mojoroto, Celep, Jurangjero, Grompol, Kaliwuluh, Jumbleng, Lajersari dan beberapa desa Lain.
Dengan daerah kekuasaan serta pasukan yang semakin besar Pangeran Sukowati terus menerus melakukan perlawanaan kepada Kompeni Belanda bahu membahu dengan saudaranya Raden Mas Said, yang berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang terkenal dengan Perjanjian Palihan Negari, yaitu kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-1 dan perjanjian Salatiga tahun 1757, dimana Raden Mas Said ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegara I dengan mendapatkan separuh wilayah Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya sejak tanggal 12 Oktober 1840 dengan Surat Keputusan Sunan Paku Buwono VII yaitu serat Angger – angger Gunung, daerah yang lokasinya strategis ditunjuk menjadi Pos Tundan, yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan Lalu Lintas Barang dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen.
Perkembangan selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan persetujuan Residen Surakarta baron de Geer ditambah kekuasaan yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen. Kemudian berdasarkan Staatsblaad No 32 Tahun 1854, maka disetiap Kabupaten Gunung Pulisi dibentuk Pengadilan Kabupaten, dimana Bupati Pulisi menjadi Ketua dan dibantu oleh Kliwon, Panewu, Rangga dan Kaum.
Sejak tahun 1869, daerah Kabupaten Pulisi Sragen memiliki 4 ( empat ) Distrik, yaitu Distrik Sragen, Distrik Grompol, Distrik Sambungmacan dan Distrik Majenang.
Selanjutnya sejak Sunan Paku Buwono VIII dan seterusnya diadakan reformasi terus menerus dibidang Pemerintahan, dimana pada akhirnya Kabupaten Gunung Pulisi Sragen disempurnakan menjadi Kabupaten Pangreh Praja. Perubahan ini ditetapkan pada zaman Pemerintahan Paku Buwono X, Rijkblaad No. 23 Tahun 1918, dimana Kabupaten Pangreh Praja sebagai Daerah Otonom yang melaksanakan kekuasaan hukum dan Pemerintahan.
Dan Akhirnya memasuki Zaman Kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia , Kabupaten Pangreh Praja Sragen menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.
Geografi
Sragen berada di lembah daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir ke arah timur. Sebelah utara berupa perbukitan, bagian dari sistem Pegunungan Kendeng. Sedangkan di selatan berupa pegunungan, lereng dari Gunung Lawu.
Transportasi
Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Kabupaten ini merupakan gerbang utama sebelah timur Provinsi Jawa Tengah, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Sragen dilintasi jalur kereta api lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Yogyakarta-Jakarta) dengan stasiun terbesarnya Sragen, serta lintas Gundih-Solo Balapan dengan stasiun terbesarnya Gemolong.
Pembagian administratif
Kabupaten Sragen terdiri atas 20 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 208 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Sragen.
Kabupaten Sragen dipetakan menjadi 2 wilayah: Utara Bengawan Solo dan Selatan Bengawan Solo
Utara : 11 Kec. 116 Desa dan 4 Kelurahan Potensi : pertanian, pariwisata, industri dan perdagangan.
Selatan : 9 Kec. 80 Desa dan 8 Kelurahan, Tanah relatif lebih Subur Potensi : pertanian sawah, perdagangan, industri, pariwisata.
Luas Wilayah : 94.155 Ha Luas Sawah : 40.129 Ha Tanah Kering : 54.026 Ha
2.2       Proses Keberhasilan Kab. Sragen
Reformasi birokrasi  adalah satu dari tiga langkah yang diambil oleh Pemkab Sragen dalam mewujudkan Smart Regency. Dua langkah yang lain adalah pelayanan prima dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam mewujudkan reformasi birokrasi dalam jajarannya, Pemkab Sragen melakukan beberapa langkah di antaranya : Pertama, perubahan paradigma “dilayani menjadi melayani”. Sikap ambtenaar PNS diubah menjadi sikap melayani. Kedua, mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dengan mengoptimalkan peran satuan kerja/dinas & inovasi kelembagaan. Misalnya : pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu, Tim marketing, Tim Pemantau Fisik. Ketiga, pengelolaan Keuangan yang efisien dengan Memangkas kegiatan rutin yang tidak efisien Keempat, desentralisasi kewenangan ke Kecamatan/desa melalui small management. Kelima, memanfaatkan IT untuk e-government. 

Kantor Pelayanan Terpadu (KPT)
Sragen menjadi salah satu daerah (kabupaten) yang sukses menerapkan e-government melalui program One Stop Service (OSS) atau pelayanan satu pintu. Latar belakang kelahiran Sragen OSS adalah tuntutan masyarakat akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan pemerintah untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Sragen Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 24 Mei 2002 ini mulai beroperasi resmi pada 1 Oktober 2002. Untuk mendukung pelayanan KPT, tahun 2003 dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sragen Nomor 15 Tahun 2003 tentang struktur organisasi KPT Sragen.
KPT Sragen memiliki kewenangan menerima, memproses, dan menandatangani dokumen perizinan. Selain berwenang menugaskan tim teknis perizinan, kantor ini juga menyediakan uang saku dan uang makan bagi tim teknis. Retribusi yang diterima langsung disetorkan ke kas daerah sesuai rekening dinas masing-masing. Pendelegasian kewenangan pun langsung dari bupati kepada KPT.
Gaung Sragen OSS pun sampai ke mana-mana. KPT Sragen menjadi tempat studi banding berbagai daerah dan negara. Berbagai penghargaan pun diterima, seperti penghargaan Satya Abdi Praja dari Gubernur Jateng, Citra Pelayanan Prima dari Presiden, Ranking I daerah Pro Investasi di Jateng tahun 2005, Sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo International Certification Service. Selain itu KPT Sragen juga terpilih sebagai best practice modul oleh JICA Jepang dan dibuat film yang kemudian diedarkan ke berbagai kabupaten/kota di Tanah Air. Bahkan, KPT Sragen direkomendasikan Bank Pembangunan Asia dan International Finance Corporation sebagai contoh model KPT di Indonesia, dengan membuat buku panduan tentang OSS yang diedarkan di seluruh kabupaten/kota di Tanah Air.
Selain juga Best Practice Modul dari LPM UNS yang ditulis dalam buku Reformasi Pemerintah Daerah, sebagai Best practiice Modull darii JPIP Surabaya, memperoleh Sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo Internasional Certification Service, memperoleh Otonomii Award biidang Admiiniistrasii Pellayanan Publik darii JPIP Surabaya, dan menjadi model Percontohan Penerapan Sistem Pelayanan Satu Pintu (OSS) dari BKKSI..




Strategi Pelaksanaan
Beberapa strategi yang dilakukan oleh pemda Sragen dalam menyukseskan OSS adalah :

1. Mengkomunikasikan kepada masyarakat. Program e-government yang digagas kabupaten Sragen di komunikasikan melalui kata-kata yang menarik seperti “Sragen One Stop Service-Mudah, Cepat, Transparan & Pasti” . Tulisin ini dibuat mencolok dalam bentuk papan reklame dan diletakkan di tempat strategis, yakni di depan Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen. Cara ini dilakukan agar masyarakat tertarik dan datang ke tempat pelayanan terpadu.

2. Menghilangkan kesan “aparat” pada pegawai KPT dengan mengganti seragam pegawai dengan seragam sipil seperti halnya pegawai perusahaan swasta.

3. Mendesain ruang pelayanan yang simple. Ruangan pelayanan OSS di KPT Sragen didesain dalam bentuk ruang-ruang yang diberi sekat. Setiap perizinan dilayani dalam satu ruangan. Pemohon cukup mendatangi ruangan perizinan yang dituju dan langsung dilayani petugas. Biaya langsung dibayar di kasir yang juga berada di ruangan tersebut.

Sedangkan dalam menerapkan eGovernment, Pemkab Sragen melakukan beberapa langkah seperti :

1. Membuat Web line dengan double control
2. Menggunakan Sistem Jaringan IT  antar dinas/satuan kerja sampai dengan kecamatan dan pada 2007 akan sampai ke tingkat desa
3. Menggunakan fasilitas teleconference, tukar data, internet.
4. Mewajibkan setiap PNS (khususnya yang muda) bisa mengoperasikan komputer.
5. Menerapkan sistem online untuk daily report. Ini digunakan untuk memperlancar komunikasi dengan kecamatan.. Setiap saat, KPT bisa berkoordinasi dengan kantor kecamatan. Untuk mengetahui respons masyarakat atas pelayanan di kantor ini, setiap enam bulan sekali KPT Sragen membuat survei kepuasan pelanggan.
DESENTRALISASI KEWENANGAN
Dalam mewujudkan reformasi birokrasi, Pemkab Sragen juga menerapkan desentralisasi  kewenangan dengan langkah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada kecamatan dan desa. Beberapa kewenangan yang didesentralisasikan adalah sebagai berikut:
Tingkat Kecamatan    
Tingkat Desa
1. Pembuatan KTP dengan on line   system
2. Izin Perhelatan
3. Izin Penggunaan/penutupan jalan
4. Izin Pertunjukan/Hiburan
5. Izin Tempat Usaha (skala kecil)
6. Izin Salon (skala kecil)
7. Izin Mendirikan Bangunan
8. Izin Bahan Galian Golongan C
9. Izin Tebang dan Angkut kayu
10. Izin Rumah Makan
11. Izin Bengkel (skala kecil)
12. Penerbitan KK
13. Melaksanakan pengawasan proyek – proyekpembangunan yang ada diwilayah kecamatan.
14. Membuat rekomendasi DP3 para Kepala Unit Kerja dan Satuan Unit Kerja yang ada di kecamatan.
15. Melantik dan mengambil sumpah Lurah Desa, Pamong Desa dan anggota BPD.
16. Melaksanakan ujian tertulis Carik Desa






2.3       Hasil Keberhasil Kab. Sragen
Setelah  reformasi birokrasi diterapkan di jajaran Pemkab Sragen terdapat beberapa kemajuan yang sangat penting. Kemajuan pertama terkait dengan paradigma dan etos kerja dalam jajaran Pemkab Sragen. Diantaranya adalah : pertama, kultur PNS berubah menjadi lebih kreatif, inovatif, proaktif dan mau bekerja keras. (bekerja overtime sudah menjadi suatu hal yang biasa, bahkan di hari libur). Kemajuan kedua, ada motivasi untuk menjadi PNS yang profesional. Beberapa dinas, telah mampu menjadi konsultan untuk pelayanan one stop service, IT, microfinance, dll. Ketiga, tingkat penyelewengan (korupsi) jauh berkurang, sebab sudah diatur insentifnya secara resmi.

Sedangkan kemajuan kualitas pelayanan dapat dilihat dari dampak positif bagi perkembangan dan pembangunan Kabupaten Sragen sejak beroperasinya KPT antara lain,
1.      Semakin efisiennya pelayanan perijinan. Berdasarkan survei yang dilakukan, pelayanan yang diberikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Bahkan, pada semester I tahun 2006, tingkat kecepatan pelayanan 60 persen, Banyak izin yang bisa diselesaikan lebih cepat, seperti izin HO (gangguan dan tempat usaha), yang sebelumnya perlu berbulan-bulan, kini dalam tujuh hari bisa selesai. Bahkan, dalam praktik, sering 2-3 hari sudah selesai. Bukan hanya waktu dan biaya perizinan yang jelas, pasti, serta bebas dari pungli, proses perizinan di KPT Sragen ini pun dilakukan secara bersamaan, selesai di satu tempat maksimal dalam waktu 12 hari. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir, bukan hanya jumlah permohonan perizinan yang meningkat, Pada tahun 2002, perizinan yang dikeluarkan kabupaten berpenduduk 850.000 jiwa ini sebanyak 2.027, tahun 2003 naik menjadi 3.170, tahun 2004 menyentuh angka 3.332, dan tahun 2005 mencapai 4.072.
2.      Meningkatnya investasi.ini adalah dampaklangsung dari pelayanan yang efisien diatas. Hingga tahun 2005, tercatat 8.105 perusahaan telah memiliki perizinan (legalitas usaha), padahal tahun 2002 baru 6.373 perusahaan. Investasi pun mengalami kenaikan menjadi 61,3 persen. Tahun 2002 sebanyak Rp 592 miliar, tahun 2003 sejumlah Rp 703 miliar, tahun 2004 mencapai Rp 926 miliar, dan tahun 2005 menjadi Rp 955 miliar.

3.      Melonjaknya nilai investasi. Nilai investasi industri mikro, kecil, dan menengah mengalami pertumbuhan sebesar 62,6 persen, yaitu tahun 2002 sebanyak Rp 33,8 miliar, tahun 2003 sejumlah Rp 35 miliar, tahun 2004 menjadi Rp 36,8 miliar, dan tahun 2005 mencapai Rp 38,7 miliar. Kenaikan signifikan juga terjadi pada investasi industri besar, dari Rp 145 miliar (2002), menjadi Rp 394,8 miliar (2003), Rp 555 miliar (2004), dan Rp 556 miliar (2005).

4.      Berkembangnya industri kecil. Pada tahun 2000 terdapat 14.811 industri kecil. Jumlah ini melonjak menjadi 16.245 pada tahun 2005.

5.      Terserapnya tenaga kerja. Pada 2005, tenaga kerja di sektor industri menjadi 46.794 orang, meningkat dari 40.785 orang pada tahun 2002. Pendapatan asli daerah (PAD) pun meningkat dari Rp 22,5 miliar (2002) menjadi Rp 40,5 miliar (2003) dan Rp 43,5 miliar (2004).

6.      Berkembangnya Aset BUMD (Bank Joko Tingkir, BPR/BKK, PDAM, Percetakan, PD PAL, Bengkel Terpadu). Pada tahun 2001 sebesar Rp. 54,490,142,000,- pada tahun 2005 menjadi 203,608,177,000,-

7.      Menurunnya jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2001 penduduk miskan berjumlah 264.025 jiwa. Namun pada tahun 2004 turun menjadi 215.641 jiwa.

8.      Meningkatnya PAD. Pada tahun 2000 senilai Rp.7,330,050,000 meningkat menjadi Rp.72,767,569,000 pada tahun 2005.


Mewujudkan Reformasi Birokrasi di Indonesia: Belajar dari Sragen
Pemda Sragen telah membangun organisasinya melalui misi baru yang dimilikinya, Sragen sebagai Smart Regency. Osborn dan Gaebler mengatakan bahwa misi mungkin merupakan satu-satunya aset terpenting bagi sebuah organisasi. Sebab bila dilakukan dengan benar, suatu pernyataan misi dapat menggerakkan suatu organisasi secara keseluruhan, dari atas sampai bawah. Pernyataan dapat membantu orang di semua tingkat untuk memutuskan apa yang semestinya mereka hentikan.

Dengan berorientasi pada pemenuhan tuntutan masyarakat akan kepuasan layanan (kemudahan dan penyederhanaan pelayanan), maka pemda Sragen telah melakukan salah satu langkah yang dianjurkan Osborn dan Gaebler yaitu menempatkan masyarakat atau pengguna jasa birokrasi sebagai pelanggan yang wajib dipuaskan kebutuhannya. Baik melalu perubahan penampilan dengan memakai baju sipil, setting kantor yang simple dan kecepatan proses pelayanan.

Memangkas jalur komunikasi dan koordinasi adalah langkah penting yang diambil oleh pemda Sragen yaitu dengan melakukan desentralisasi kewenangan kepada kecamatan dan desa dan menerapkan sistem online. Maka komunikasi dan koordinasi dengan kecamatan menjadi lebih mudah dan tidak terlalu terkesan hierarkis. Inilah strategi pengendalian yang melibatkan pegawai di bawahnya untuk turut serta bertanggung jawab menyukseskan program yang digulirkan. Perubahan perilaku atasan inilah yang menurut Osborne-Plastrik sebagai syarat pembaharuan. Para pejabat harus berani melepas kendali langsungnya terhadap manajemen. Mereka harus puas mengarahkan saja dan membiarkan orang lain melaksanakan.

Birokrasi yang terdesentralisasi menurut Osborne-Gaebler memiliki sejumlah keunggulan. Diataranya adalah : Pertama, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel. Lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah.

Kedua, lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif. Para pekerja di lini depan adalah yang paling dekat dekat dengan masalah dan peluang. Seringkali mereka dapat menciptakan solusi terbaik.
Ketiga, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih variatif. Sering terjadi, inovasi muncul karena gagasan yang baik berkembang dari karyawan yang benar-benar melakukan pekerjaan dan berhubungan dengan pelangggan.
Keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya.

Koordinasi yang dilakukan antara KPT dengan kantor kecamatan. Dengan maksud untuk mengetahui respons masyarakat atas pelayanan dan survei kepuasan pelanggan yang dilakukan setiap enam bulan sekali adalah langkah kontrol sekaligus sebagai manajemen  mutu terpadu yang dilakukan oleh pemda Sragen. Osborn dan Plastrik menjelaskan bahwa strategi kontrol mengubah locus kontrol—letak keberadaan wewenang pembuatan keputusan. Strategi kontrol juga mengubah bentuk kontrol dari peraturan preskriptif menjadi nilai dan misi bersama dan akuntabilitas kinerja.

Manajemen mutu terpadu berpegang pada bagan organisasi tradisional pada puncaknya: konsep tersebut mengatakan bahwa pelanggan adalah orang terpenting dalam sebuah organisasi, mereka yang secara langsung berhadapan dengan pelanggan adalah mereka yang berada pada proses berikutnya,dan manajemen ada di sana untuk melayani mereka yang melayanipelanggan.  Pengendalian mutu terpadu menekankan pengukuran yang konstan dan perbaikan mutu.

Peningkatan kompetensi professional pada jajaran staf pemda menjadi bukti komitmen Pemkab Sragen terhadapa nilai-nilai demokrasi. Menurut Albrow, hal ini menjadi sebuah benteng pengaman yang lebih penting bagi demokrasi ketimbang system kontrol. Hal inilah yang kemudian membuat otos dan kualitas kerja para pegawai terus meningkat walau tanpa pengawasan yang ketat
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Perkembangan politik, social budaya dan teknologi menjadi hal yang penting diperhatikan dalam rangka melakukan reformasi birokrasi agar lebih adaptif dan responsive. Oleh karena itu reformasi birokrasi sangat penting di wujudkan di setiap struktur pemerintahan dalam rangka mewujudkan birokrasi yang lebih efisien, berkualitas dan kemudahan aksesnya. Namun begitu, prasyarat-prasyaratnya  seperti tersedianya SDM berkualitas yang memadai, system yang baik, kordinasi yang baik antar bagian birokrasi, dan budaya kerja yang terbuka dan inovatif haruslah terlebih dahulu dipenuhi juga arah tujuan yang berorientasi kepada public itu merupakan hal yang sangat penting selain itu dimana cara pandang seorang PNS yakni seorang PNS adalah sesorang yang diciptakan untuk memberikan pelayanan bukan untuk dilayani bagaimana pun tingkat jabatannya karena Gaji dam Tunjangan yang mereka dapat bersumber dari pajak tangan-tangan masyarakat ,diibaratkan dengan kata kasarnya PNS dalah Seorang Pembantu Pemerintah yang mana majikannya adalah public

Saran
Dalam melaksanakan peoses penyelenggaraan pelayanan masyarakat haruslah berorietasi pada tujuan-tujuan yang jelas kepada public khususnya, komitmen dari seluruh lapisan Pemerintah pada wilayah tertentu haruslah dilakukan dengan aturan yang jelas dan sanksi yang keras juga pola pikir Para pemberi pelayanan (PNS) yang perlu diubah seperti hal yang dilakukan Daerah Kabupaten Sragen
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Albrow, Martin, Birokrasi (terj.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Diyanto,Agus, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: PSKK UGM, 2002..
Osborn, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi (terj.), Jakarta: Penerbit PPM, 2003
Osborne, David dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi (terj.), Jakarta: Penerbit PPM, 2000.
Said, Mas’ud. M, Trend Global Peningkatan pelayanan Publik, dalam Wijoyo, Suparto (ed.), Pelayanan Publik dari Dominasike Partisipasi. Surabaya: Airlangga University Press, 2006.
Tamin, Faisal, Reformasi Birokrasi, Jakarta: Penerbit Belantika.
Web Site
Sonya Hellen Sinombor dan Reny Sri ayu Taslim, Revolusi Birokrasi Sragen-Parepare dalam www.kompas.com,  9 Desember 2006.
Windraty Siallagan, eGoverment:Menuju Pelayanan Publik yang Lebih Baik dalam www.bakun.go.id
www.bdg.centrin.net.id
www.kompas.co.id, Jum’at, 16 Desember 2005
www.tempointeraktif.com, Kamis, 24 Pebruari 2005, 05.40 WIB
Kuliah Umum Bupati Sragen di Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Senin, 4  September 2006