Rabu, 12 Desember 2012

MAKALAH ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

BAB II
PEMBAHASAN

2.1        PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7). 
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati. 
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4). 
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Menurut Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :
1.      Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat memahami hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan lebih jelas.
2.      Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.
3.      Apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.
4.      Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita semua dapat mengerti.
5.      Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.
6.      Apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.
Ketika kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model, pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat kita berpikir dan menjelaskan

2.2  MODEL KEBIJAKAN MENURUT THOMAS D RYE
1. Model Elitis/Policy as Elite Preference
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu[3] :
1.      Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2.      Kelompok kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang dipengaruhi.  Para elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat yang ekonominya tinggi.
3.      Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran kaum elit.
4.      Elit memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.
5.      Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.
6.      Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya.  Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata. Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari kaum elit ke massa (rakyat).

2. Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal maupun informal untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini, perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting antara individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik mempunyai tugas untuk mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar kelompok tersebut, dengan cara :
1.      Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
2.      Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3.      Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;
4.      Memaksakan kompromi tersebut.

Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan.[4] Padangan Pluralis menurut Robert Dahl dan David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1.      Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
2.      Hubungan –hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3.      Tidak ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
4.      Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
5.      Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6.      Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi pemimpin politik.
Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.

3. Model Sistem/ Policy as System output
Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs).

Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs) bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik.

Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya saling hubungan antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.

Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem dibangun berdasarkan elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :
1.      Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan;
2.      Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;
3.      Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).

Menurut Thomas R. Dye, dengan teori sistem ini dapat diperoleh petunjuk mengenai[5] :
1.      Dimensi-dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik ?
2.      Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan publik dan berlangsung terus-menerus ?
3.      Dengan cara yang bagaimana masukan-masukan yang bersasal dari lingkungan mempengaruhi sistem politik?
4.      Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan publik?
5.      Bagaimanakah masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi kebijakan publik?
6.      Bagaimanakah kebijakan publik melalui mekanisme umpan balik mempengaruhi lingkungan dan sistem politik itu sendiri ?

4. Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.      Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.      Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.      Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5.      Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.      Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.  Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.      Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3.      Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.      Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5.      Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :
1.      Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan jelas.  Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan masalah dengan jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat.
2.      Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif yang digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan masalah yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin.
3.      Para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah diperbandingkan atau diukur bobotnya.
4.      Pada kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.
5.      Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi.
6.      Investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan sebelumnya.
7.       Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari masing-masing alternatif.

5. the Past
Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni :
1.      Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2.      Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3.      Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
4.      Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5.      Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6.      Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya merupakan perubahan terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.

Dalam pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.

7. Game Teori/ Policy as Rational Choice Competitive Situations.
Menurut Thomas R. Dye, teori ini bertitik tolak pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu :
1.      Kebijakan yang akan diambil bergantung pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau lebih;
2.      Kebijakan yang dipilih ditarik dari dua atau lebih alternatif pemecahan yang diajukan oleh masing-masing pemain;
3.      Pemain-pemain selalu dihadapkan pada situasi yang serba bersaing dalam pengambilan keputusan.
Menurut model ini pilihan kebijakan akan dijatuhkan pada pilihan yang saling menguntungkan, dimana pembuat kebijakan senantiasa dihadapkan pada pilihan yang saling bergantung.


8. Policy as Institutional Activity
Model ini memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Menurut pandangan model ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga negara, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok pada umumnya ditujukan pada lembaga pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan, dan dilaksanakan serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam model ini yang membentuk kebijakan publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, dilain pihak, betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila tidak mendapat perhatian dari lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan menjadi kebijakan publik.

Lembaga pemerintah memberikan karakteristik berbeda dalam kebijakan publik, yaitu :
1.      Pemerintah memberikan legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.
2.      Kebijakan-kebijakan pemerintah memerlukan universalitas.
Dengan demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.



2.3  MODEL KEBIJAKAN YANG IDEAL UNTUK INDONESIA
Menurut analisi dari kami bahwa Negara kita paling ideal dapat menggunakan monel kebijakan dar Thomas r dye  yakni
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.      Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.      Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.      Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5.      Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.      Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.  Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.      Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3.      Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.      Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5.      Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Hal ini dikarenakan bahwa dengan melihat tingkat rasional kita bisa memahami keadaan yang paling dibutuhkan pada suatu daerah khususnya INDONESIA, selain itu kita bisa  dapat membandingkan tingkat Anggaran Negara dengan kebijakan yang diterapkan
Bahwasanya Indonesia bukanlah Negara superpower oleh karena itu kita perlu memilah mana saja kebijakan yang sesuai dan dominan dengan keadaan wilayah sehingga diharapkan kebijakan yang keluar nantinya bisa berjalan secara efisien untuk Negara tersebut
Pada dasarnya tidak semua aspirasi dapat dilaksanakan namun dengan terori model ini  kita dapat menarik kesimpulan dari kebijakan yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi juga anggaran yang tersedia






BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu.Model adalah wakil ideal dari situasi-situasi dunia nyata.Model adalah menyederhanakan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan atas model fisik dan model abstrak. Model memiliki fungsiantara lain: Membantu kita untuk memperoleh pemahaman tentang peroperasinya sistem alamiah atau system buatan manusia. Model membantu kita menjelaskan sistem apa, dan bagaimana sistem tersebut beroperasi, membantu kita dalam menjelaskan permasalahan dan memilah-milah elemen-elemen tertentu yang relevan dengan permasalahan, membantu kita memperjelas hubungan antara elemen-elemen tersebut, membantu kita dalam merumuskan kesimpulan dan hipotesis mengenai hakekat hubungan antar elemen. Selain fungsi yang di miliki model, model kebijakan juga memiliki jenis yaitu model pluralis, elitis, sistem, rasional, inskrementalis, dan institusional. Sedangkan untuk pendekatan kebijakan juga memiliki berbagai macam yaitu pendekatan kelompok, proses fungsional, kelembagaan, peran serta warga negara, psikologis, proses, subtantip, logis-positivis, ekonomentrik, Fenomenologik/Pospositivis, partisipatori, Normatif/Preskriptif, ideologik,Historis. 



B.     SARAN
    Dalam sebuah kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah dan telah direalisasikan kepada masyarakat ada kalanya merupakan sebuah kebijakan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena kebijakan tersebut mampu menanggulangi krisis dan ketimpangan serta masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, akan tetapi ada kalanya dalam pemerintah membuat sebuah kebijakan tidak diterima oleh masyarakat karena kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, saran dalam makalah ini adalah sebaiknya pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan hendaklah melihat realita dalam masyarakat sehingga kebijakan yang akan ditetapkan dapat diterima oleh masyarakat dan kebijakan tersebut dapat menjadi solusi yang tepat bagi problematika dalam masyarakat tersebut.











Daftar Pustaka
AG.Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Dr. Syafaruddin, M.Pd, 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Edi Suharto, Ph.D, 2010, Analisa Kebijakan Publik panduan praktis mengkaji masalah dan kebijakan public, Bandung:Alfabeta.

Miftah toha. 2005. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Aministrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Riant Nugroho. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.

William N. Dunn, 1999, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.


MASIH PERLUKAN STAF AHLI DI PEMRINTAHAN


Jabatan Staf Ahli dalam roda pemerintahan sesungguhnya merupakan jabatan yang sangat strategis, karena merupakan “otak” atau “konsultan” kepala daerah di bidang tertentu atau istilah kerennya ‘Tim Kreator Pemerintah Daerah’.  Keberadaannya  diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengambil kebijakan yang tepat mengenai program pembangunan yang akan dijalankan sesuai dengan kekhususan bidangnya. Staf Ahli Kepala Daerah merupakan suatu jabatan baru yang diamanatkan PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permendagri 57 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.

Terbentuknya jabatan ini dilatarbelakangi terpilihnya kepala daerah yang berasal dari berbagai kalangan, sehingga tidak semua kepala daerah memiliki pengalaman di bidang pemerintahan.  Untuk itu, dibutuhkan pendamping kepala daerah yang dapat memberikan saran pertimbangan terkait bidang politik, hukum, pemerintahan, perekonomian dan keuangan serta kependudukan dan sumber daya manusia.
Staf ahli, pada level lembaga atau organisasi macam apapun memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan penyediaan informasi dan analisis yang perlu dilakukan guna pembuatan keputusan tertentu.
Dalam perspektif kebijakan publik, staf ahli merupakan seorang analisis kebijakan yang berfungsi memberikan masukan atau rekomendasi (policy  adviser) yang biasanya dalam bentuk policy paper, kepada top manager  atau pada tataran pemerintah daerah peran staf ahli adalah sebagai  policy adviser bagi Kepala Daerah.

Paling tidak ada 3 (tiga) alasan mengapa keberadaan staf ahli  pemerintah daerah diperlukan : (1) Meningkatnya kompleksitas persoalan  yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah; (2) Adopsi nilai-nilai  demokrasi yang membuat pemerintah daerah harus makin transparan,  responsif dan partisipatif di dalam membuat kebijakan; (3) Makin  terbatasnya berbagai sumberdaya yang menuntut penggunaan sumberdaya  tersebut secara bijak dengan perumusan kebijakan yang akurat.

Namun pada kenyataannya ada anggapan yang berpendapat, bahwa jadi staf ahli berarti masuk kotak. Namun ada juga yang menganggap jadi staf ahli artinya sedang diparkir sementara, sambil menunggu jabatan SKPD yang lowong. Setelah ada jabatan yang lowong, maka pejabat yang bersangkutan dikembalikan ke SKPD kembali. Selain itu jabatan dari staf ahli adalah jabatan yang tidak jelas karena kepala pemerintah jarang menggunakan stah ahli dalam menentukan suatu kebijakan yang vital malah lebih banyak berkoordinasi dengan wakil kepala pemerintahn dan sekretarisnya sendiri

Hal ini akan hanya membuang- buang anggaran dalam belanja pegawai karena fungsi yang tidak jelas karena tupoksi tidak begitu terlihat walaupun diaturan semua itu jelas namun pada kenyataan kita lihay nbanyak staf ahli adalah buangan dari skpd yang tidak memiliki kompetensi yang diletakkan dalam unsure staf ahli
Bila hal ini terus di pertahankan malah akan terjadi pemborosan pengeluaran mengaji orang yang tidak berkompeten dalam organisasi dengan golongan tinggi dan eslon yang yang tinggi bagusnya kita gunakan untuk membangun dan meningkatatkan kesejahteraan masyarakat karena yang lebih penting dalam suatu daerah
        
Namun sebenarnya anggapan tersebut tidak benar, karena staf ahli memiliki peranan penting dalam memberikan masukan terhadap kebijakan daerah seorang walikota/bupati, Merujuk pada PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Pasal 36 ayat (3) PP Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, bupati/walikota dari pegawai negeri sipil.
 Mereka dikoordinir oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Secara struktural, staf ahli gubernur masuk eselon II a, sedangkan staf ahli bupati/walikota masuk eselon II b. Tugas dan fungsi staf ahli sepenuhnya diserahkan kepada kepala daerah. Syaratnya, tugas dan fungsi mereka harus di luar tugas dan fungsi perangkat daerah yang ada.  Staf ahli berperan mengurai jalur birokrasi yang berbelit-belit jika seorang kepala daerah ingin menjalankan program. Jika semata-mata mengandalkan birokrat, bisa saja program kepala daerah tidak terlaksana dengan baik.

Hal perlu kita disadari bahwa setiap organisasi memiliki tugas dan funsinya sendiri dalam ranah suatu pemrintahan , meraka yang diamanatkan berarti mampu menduduki dan memberikan arah perubahan terhadap suatu pemerintahan, namun pada kenyataannya kita lihat contoh dari unsur staf ahli itu sendiri  banyak memandanng sebelah mata kepala
Jarangnya kepala pemrintah menggunakan stah ahli dalam mengatur sebuah kebijakan membuat staf ahli jarang menggunakan perannya dalam memberikan tanggapan dalam mengarahkan kepala daerah dalam menentukkan kebijakan
dalam  Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Staf Ahli Kepala Daerah se-Indonesia yang merupakan forum komunikasi staf ahli kepala daerah se-Indonesia.  Dalam Rakernas ini para staf ahli dapat bertukar pikiran, pengalaman yang akhirnya akan memberi inspirasi para staf ahli untuk memberi masukan kepada para kepala daerahnya masing-masing melalui telaahan-telaahan.
Rakernas kelima dilaksanakan tanggal 13 sampai 15 Juni 2011 di Swiss-Belhotel Maleosan, Manado.  Dimana pembukaan dilakukan oleh Sekjen Kemendagri, Ibu Diah Anggraeni, bertempat di Guest House Gubernuran Bumi Beringin, Manado Senin, 13 Juni 2011, pukul 19.30 WITA.  Dalam sambutannya Ibu Diah mengatakan, bahwa bahwa tujuan Rakernas kali ini adalah untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan staf ahli kepala daerah yang meliputi kelembagaan dan individual dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan kewajiban kepala daerah secara maksimal dalam upaya-upaya percepatan penanggulangan kemiskinan.

Sebagaimana diketahui bahwa percepatan penanggulangan kemiskinan merupakan issu strategis dan sekaligus menjadi prioritas pembangunan nasional Tahun 2009-2014 yang harus tertuang dalam setiap rencana kerja daerah.   Hal ini sejalan dengan Tema Rakernas, yakni “Meningkatkan kapasitas staf ahli kepala daerah dalam rangka mendukung percepatan penanggulangan kemiskinan”.

Beberapa dirjen yang menjadi narasumber dalam Rakernas tersebut diantaranya,  Pengarahan oleh Sekjen Kemendagri, Pemaparan makalah/materi seminar masing-masing, Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dirjen Otonomi Daerah, Dirjen Kesbangpol dan Dirjen Keuangan Daerah. Selain itu juga dilakukan sesi diskusi , yang ditutup dengan  Perumusan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Mendagri berkaitan dengan penguatan kelembagaan dan personil Staf Ahli Kepala Daerah. Peserta Rakernas cukup banyak, yakni sejumlah 435 orang yang terdiri dari staf ahli gubernur, staf ahli bupati dan kepala biro umum provinsi.

Tapi yang jelas bagaimana kepala daerah dan stafahli menyikapai ini semua, apabila kepala pemerintah paham dengan tupoksi staf ahli mereka akan mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatn tersebut membantunya dalam menalisis seatu kebijakan tapi jika tidak, semua akan sama bahwa jabatan stafahli hanyalah jabatan masuk kotak dan tidak layak lagi dalam menjadi unsure organisasi pemritahan dan perlu direvisi kembali, begitupun dengan oarng- orang yang berada dalam unsur staf ahli bila apabila mereka beranggapan kalau mereka itu penting merekan akan bekerja denga kompetensen untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal tapi  jika tidak sama hanya akan malah mengganggu roda pemerintahan saja, malah lebih baik anda pesiun saja dari pada menhabisin uang Negara

pertanyaan masih layakkan adanya stah ahli dalam organisasi pemrintahan ???


silahkan berpendapat namun sesuai dengan norma

PNS PADA ZAMAN SEKARANG

Indonesia adalah negara keempat didunia yang miliki jumlah populasi penduduk yang terbesar didunia , sehingga pasti banyak sumber daya manusi yang handal yang dapat membangun dan mengembangkan birokrasi pemerintahan Republik Indonesia yang diharapkan dapat melaksanakan tugas secara maksimal dalam pelaksanaan visi dan misi dari negara Indonesia

Dalam peraturan dijelaskan tiga pilar Pegawai Negara adalah TNI, POLRI dan PNS. berbicara soal pns merupakan obyek vital dalam pemerintahan karena pns merupakan otak di dalam pemerintahan karena dalam pembuatan kebijakan, pengimplemenatsian dan evaluasi juga monitoring itu semua adalah tupoksi dari Pegawai Negri Sipil (PNS) sehingga jelas subyek-subyek yang menjadi pns adalah orang-orang yang memiliki kapasitas yang luar biasa dari masyarakat lainnya karena skill yang mereka miliki berpengaruh terhadap perputar roda birokrasi pemerintaha 

Dengan perbandingan yang kecil lebih kurang 2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia justru diharapkan memberikan perubahan dalam birokrasi pemerintahan dan mampu membangun sistem pemerintahan yang ideal sesuai harapan bangsa, namun ironisnya dari 2 persen tersebut hanya 0,... persen yang mampu memberikan kinerja yang maksimal dalam pemerintahan sehingga menjadi pertanyaan besar dimana sekian persen lainnya,,,, hal ini senada diucapkan oleh beberapa pejabat daerah mengenai kinerja pns di daerah mereka

Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi faktor kenapa kinerja yang diharapkan belum maksimal sehingga implementasi dari program-program menjadi berhenti, hal ini dikarenakan
  1.  kelembagaan birokrasi yang besar namun sumber daya aparatur yang dimiliki kurang maksimal sehingga proses jalannya pemerintahan menjadi terhambat hal ini disebabkan karena penempatan posisi pada post-post  yang sesuai dengan kinerja dan kemampuan ditempat pada orang yang tidak selaras sehingga program -program yang menjadi wacana dalam menjalankannya terhambat dan akhirnya jadi mentahan program
  2. audit kinerja yang diprogram dengan harapan adanya perbaikan kenerja para birokrasi pemerintahan tidak terlaksana dengan baik hanya menganggap hal ini hanyalah kegiatan formalitas yang harus dilaksanakan sehingga hasi yang diharapkan pun tidak signifikan terhadapa perubahan kinerja pemerintahan
  3. kegiatan KKN yang menjadi kebudayaan birokrasi bukan menerapkan sistem good governance yang dijadikan dasarkan
  4. jabatan eselon-eselon yang diisi berdasarkan DUK (daftar urut kedekatan)
  5. sistem perampingan struktur  organisasi belum berani dikembangkan 
  6. PNS yang menjadi aktor politik
 Hal-hal ini yang menyebabkan kinerja PNS zaman sekarang menjadi lambat , dampak langsung yang ditimbulkan adalah roda perputaran pemerintah menjadi lambat dan tingkat kepuasaan masyrakat menjadi terganggu .Mekanisme ini perlu segera diubah dengan pola pengembangan perampingan SOTK pemerintahan ,sehingga kinerja lebih efektif dan efesien karena dengan perampingan membuat semngat kompetisi untuk pengisian jabatan lebih ideal dan pola audit kinerja yang dilaksakan haruslah tegas dan terprogram dengan baik bukan hanya kegiatan formalitas sehingga ada keseriusan dalam milihat kinerja dari dan juga pengisian jabatan dengan sistem pengetesan sehingga terjadi kejelasan siapa yang berhak menduduki jabatan sesuai dengan kemampuan mereka dan juga pengakan secara tegas terhadap reward dan punishment