Era Reformasi terdapat tiga pilar
kekuatan yang menjadi pondasi di
Indonesia yang menjadi penggerak dalam jalannya pemrintah. Ini bisa disebut
sebagai pegawai Negara iala adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI), Pegawai Negeri Sipil dan Polri atau ada stepment lain yang menyebutkan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Birokrat dan Golongan Karya
(Golkar). Ketiga kekuatan politik tersebut disingkat ABG.
Birokrat dalam konsep pemerintahan
tersebut dapat mencakup semua pegawai negeri sipil (PNS) beserta keluarganya,
dari golongan/ pangkat terendah hingga golongan/ pangkat tertinggi, mulai dari
eselon terendah hingga eselon tertinggi, termasuk pegawai negeri sipil di
lingkungan ABRI dan keluarga ABRI sendiri.
Pengertian golongan karya juga sangat
bias. Tidak hanya mencakup semua PNS tetapi juga mencakup semua karyawan di
lingkungan BUMN dapat diklaim sebagai kader atau pendukung Golkar.
ABRI yang kini berubah menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan terpisah dengan POLRI. Ketika itu mengemban dua
fungsi, fungsi sipil dan fungsi militer. Yang dimana peran dari pegawai Negara
ini mempertahankan keamanan dan ketahanan NKRI
Netralitas PNS sebenarnya telah
merupakan tekad dari Pemerintah semenjak dimulainya era reformasi dengan
dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan PP No 12 tahun 1999 yang antara lain memuat tentang
larangan terhadap PNS untuk menjadi
pengurus dan anggota partai politik. Materi ini dimuat pula pada UU Nomor 43
tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian seperti tertera pada pasal 3 ayat
(3) yang berbunyi: “Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau
pengurus partai politik.”
Selanjutnya dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2004 tentang
larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik disebutkan pada
pasal 2 ayat (1) yang bunyinya: “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota
dan/atau pengurus partai politik”, sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah, Menteri PAN telah mengeluarkan Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005,
antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan
salah seorang calon Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakan fasilitas
jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang
menguntungkan salah seorang calon.
Netral dalam pengertian awan “tidak punya warna” atau “putih bersih”, karenanya
dia bisa berwarna kalau diwarnai, sebaliknya apabila tidak, maka dia akan tetap
putih bersih dan mempunyai karakter sendiri yang tidak mengikuti pewarnaan dari
yang lain. Artinya dalam keadaan netral ada kebebasan untuk mewarnai sendiri,
memilih sendiri apa yang diinginkan, hanya diri sendiri yang tahu. Netral,
bukan pula selalu sama dengan tidak melakukan pilihan yang sering disebut
“golongan putih” atau “tidak mau tahu” ataupun “apatisme”. Justru itu,
pengertian netral.
PNS, sebagai profesi yang bersentuhan
langsung dengan birokrasi dan pemerintahan, diberikan suatu amanat
terhadap pemerintahan Indonesia yang
berorientasi pada pelayanan publik dan sama sekali tidak melakukan
tindakan diskriminatif juga loyat terhadap pemrintahan Indonesia . PNS dalam
perspektif teori-teori birokrasi modern sangat menekankan pentingnya menghargai
sikap netralitas, rasionalitas, inpersonalitas, Selain itu harus menjunjung tinggi nilai-nilai
profesionalitas yang normatif dan bermoral.
Netralitas dalam konteks birokrasi
yang demokratis dapat diinterpretasi sebagai sikap politik yang independen dan
tidak berpihak pada partai politik tertentu, sehingga dalam menjalankan roda
pemerintahan tidak teriikat oleh siapapun, kelompok tertenti atau organisasi
yang dimana mempengaruhi penerapan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan umum
Netralitas PNS sangat dibutuhkan bagi
organisasi pemerintahan yang misi utamanya adalah mengatur, melayani dan
memberdayakan masyarakat agar terwujud kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat
dilihat sebagai berikut: Pertama dengan netralitas, PNS tidak lagi terganggu
dengan pekerjaan pekerjaan yang
diluar tugas dan tanggung jawabnya, sehingga lebih dfokus pada pekerjaannya.
Kedua, PNS merasa lebih aman bekerja, punya kepastian
masa depan dimana tergantung kepada hasil kerja dan prestasi kerjanya, tidak
ada lagi faktor-faktor subjektif yang tidak punya standar yang pasti.
Ketiga, PNS akan berkompetisi secara
sehat dalam menghasilkan prestasi, sehingga akan muncul inovasi baru dalam
menyelesaikan suatu persoalan ataupun guna melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan.
Keempat, pemberian pelayanan akan
lebih baik, karena tidak ada lagi sikap sikap yang diskriminatif ataupun adanya
intervensi tertentu dalam memberikan pelayanan.
Kepatuhan atau loyal terhadap atasan
hal itu juga yang dijunjung oleh pegawai negeri sipil namun dalam perwujudannya
PNS hanya dapat menjalankan pekerjaan kalau pekerjaan tersebut untuk
kepentingan kelancaran pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan, juga
kalau untuk kepentingan bangsa dan negara, bukanlah untuk kepentingan subjektif
dari seseorang walaupun yang bersangkutan adalah pimpinan. Dalam hal ini,
loyalitas tidaklah hanya diukur dari segi kepatuhan seseorang pada pribadi
pimpinan, tetapi kepatuhannya menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang
dibebankan kepadanya, serta ketaatannya dalam menjalankan dan menegakkan
peraturan perundangan.
dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1999
yang disempurnakan dengan PP No 12 tahun
1999 yang antara lain memuat tentang larangan terhadap PNS untuk menjadi pengurus dan anggota partai
politik. Materi ini dimuat pula pada UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian seperti tertera pada pasal 3 ayat (3) yang berbunyi: “Untuk menjamin
netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri
dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.”
Selanjutnya dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2004 tentang
larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik disebutkan pada
pasal 2 ayat (1) yang bunyinya: “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota
dan/atau pengurus partai politik”, sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah, Menteri PAN telah mengeluarkan Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005,
antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan
salah seorang calon Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakan fasilitas
jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang
menguntungkan salah seorang calon.
Dengan dikeluarkan Peraturan mengenai
Pegawai Negeri Sipil diharapkan Pegawai negeri sipil dapat terhiondar dari
kegiatan atau interpensi dari pengaruh politik namun ironisnya sekarang ini
Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sudah terjemar dengan virus yang bernama
politik hal ini terjadi disebabkan oleh dua faktor internal dan ekternal dari
pegawai negeri sipil itu sendiri.
faktor internal, dan faktor eksternal.
Internal adalah yang menyangkut PNS sendiri berupa: Pertama, kebiasaan bahkan
sudah menjadi bakat seseorang untuk selalu ingin terlibat dalam kegiatan
kegiatan politik praktis, kemungkinan karena terlalu lama berkecimpung di
organisasi politik ataupun memang telah merupakan pendirian yang dianutnya.
Kedua, kurang percaya diri,
kemungkinan karena tidak memiliki kemampuan baik dari segi pengetahuan ataupun
ketrampilan yang dimilikinya, artinya tidak profesional.
Ketiga, ambisi yang besar untuk
memperoleh jabatan tertentu, sehingga diharapkan dengan pemihakan ini akan
diperoleh imbalan berupa jabatan yang akan diduduki.
Keempat, solidaritas yang kurang
sesama PNS, sehingga masing masing PNS menyelamatkan diri masing-masing, yang
dikenal dengan istilah “SDM” (selamatkan diri masing masing), ataupun juga
terdapat “dendam” di antara PNS.
Kelima, primodialisme berupa hubungan
kekeluargaan, kedaerahan, kepentingan materi, kesukuan dan sejenisnya.
Penyebab eksternal yaitu diluar diri PNS,
berupa: Pertama, kebiasaaan atau kebijakan masa lalu yang cukup lama
mempengaruhi pemikiran bahkan sikap dari PNS, yaitu adanya istilah
monoloyalitas pada kelompok tertentu, bahkan kepada orang tertentu. Kedua,
terdapat provokasi bahkan ancaman kepada PNS oleh pimpinan ataupun orang-orang
yang ditugaskan pimpinan untuk mengajak PNS agar memihak. Ketiga, janji janji
yang dilemparkan atau yang diutarakan oleh seseorang atau sekelompok orang
kepada PNS. Keempat, masih lemahnya
pengawasan dari yang berwenang terhadap yang melakukan pelanggaran aturan
tentang netralitas ini, dan kurang tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap
pelanggaran yang dilakukan.
Kelima, pemanfaatan peraturan
perundangan oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menggunakan PNS bagi kepentingan
pribadi atau kelompoknya.
Hal ini-inilah sebernarnya yang
menganggu kinerja oleh pegawai negeri sipil itu dimana ruang gerak dari pegawai
negeri sipil tersebut sempit dari hal terkecil sampai hal-hal yang vital
sekalipun terpenggaruh oleh politik
Aturan yang dibuat untuk memberikan
safety bagi Pegawai Negeri Sipil pun rusak karena pengaruh partai politik
aturan yang dibuat hanya menjadi sebuah hiasan belaka yang tidak begitu berarti
, karena semua hal gampang tunduk terhadap politik, hal kecil yang dijadikan
sample adalah dalam peletakkan posisi jabatan yang vital yang seharus
diperlukannya analisis jabatan yang memperhatikan beberapa aspek seperti masa
kerja, kinerja, profesinalitas, proposinalitas, dan kualitas dari pegawai
tersebut namun pada kenyataannya orang-orang yang memiliki kemampuan yang
sesuai dengan jabatan tersebut didepak ke tempat yang justru yang tidak begitu
berpengaruh dengan jalannya roda pemerintahan atau bisa dikatakan “ kalau bisa
dinon jobkan kenapa tidak” , kenapa ?? karena orang yang- yang berkompeten
merupakan penghambat dalam mengsukseskan tujuan- tujuan tertentu yang diluar
logika, sehingga apa yang terjadi sekarang faktor biologi kedekatan yang
menjadi syarat utama untuk mendapatakan suatu jabatan yang mereka inginkan,
berpura-pura menjadi manusia bertopeng menghilangkan prinsip-prinsip yang harus
dimiliki oleh PNS yang tertuang di undang-undang PNS dan KODE ETIK PNS,
Kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah kepala pemerintah yang berkendara oleh politik sehingga ketika kepala
pemerintahan terpengaruh oleh politik hal ini akan berdampak pada seluruh
lapisan birokrasi di Pemerintahan yang tercemar oleh politik.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka
kedepan langkah yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka memelihara dan
mempertahankan Netralitas PNS tersebut antara lain: 1). Segera dilakukan revisi
terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun 1999 tentang Pokok pokok Kepegawaian yang
menyebutkan bahwa Pejabat pembina kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur
dan pejabat pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota,
disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)
dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan
Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedudukannya
sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8
berbunyi: Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah
pejabat karier tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat
karier tertingi pada pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
1) Sekretaris Daerah hendaknya
diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi dan profesinalnya dapat
dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang pengetahuan, keterampilan,
track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan manajemen
pemerintahan.
2). Menghilangkan intervensi pejabat politis
dalam menempatkan PNS pada seluruh
tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
3). Mutasi, rotasi, demosi maupun
hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah didasarkan pada pertimbangan
objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang ditetapkan dalam undang
undang dan peraturan pemerintah.
4). Apabila ada PNS yang menang dalam
perkara yang diajukan pada PTUN yang menyangkut status, kedudukan dan hak PNS,
hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksanakan, dan kalau tidak dilaksanakan
maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi tersebut diberi sanksi.
5). Pengawasan yang lebih ketat
terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini, sekaligus pemberian sanksi yang
tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi PNS, tapi juga bagi
mereka/orang yang mempengaruhi PNS untuk
tidak berbuat netral.
7). Politik
adalah sebuah wadah yang digunakan untuk menapung aspirasi dari dan oleh
masyarakat, sehingga layaknya dukungan pihak – pihak politk mendukung
program-program yang dibuat oleh aparat birokrasi yang arah implementasiianya
untuk masyarakat
8). Meletakkan
politik sesuai dengan porsinya bekerja dengan integritas untuk Negara dan
daerah juga masyarakat
Kesemua hal ini bukanlah hal yang
mustahil untuk daerah atau bangsa kita lakukan, perlu adanya komitmen dari
masyarakat, politik dan pegawai negeri sipil tersebut dalam menenwujudkan hal
ini, jangan ada saling interfensi menjatuhkan antara satu dengan yang lain
bukankan Negara kita mengganut ideology pancasila yang dimana diikat oleh bhineka
tunggal ika , sama kita majukan Negara kita kearah lebih baik dengan
saling mendukung agar politik stabil dan netralitas PNS terjaga nama baiknya.
Guna mewujudkan apa yang dikemukakan
diatas memang diperlukan kerja keras dan perobahan pola pikir (mind set) dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan
daerah baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan
politik.
Tentunya juga para PNS haruslah
merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan diri kepada
seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang mandiri
dan profesional.
Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat
asal ada kemauan dan kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata
atau tulisan, tapi dibuktikan dalam kebijakan dan tindakan. (pasti bisa)
(Setiap Orang Bebas Berargumen Untuk
Menyampaikan Apa Yang Dipikirkan Namun Sesuai Dengan Normanya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar