Senin, 29 Oktober 2012

NETRALITAS PNS VS POLITIK



Era Reformasi terdapat tiga pilar kekuatan yang menjadi pondasi  di Indonesia yang menjadi penggerak dalam jalannya pemrintah. Ini bisa disebut sebagai pegawai Negara iala adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Pegawai Negeri Sipil dan Polri atau ada stepment lain yang menyebutkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Birokrat dan Golongan Karya (Golkar). Ketiga kekuatan politik tersebut disingkat ABG.
Birokrat dalam konsep pemerintahan tersebut dapat mencakup semua pegawai negeri sipil (PNS) beserta keluarganya, dari golongan/ pangkat terendah hingga golongan/ pangkat tertinggi, mulai dari eselon terendah hingga eselon tertinggi, termasuk pegawai negeri sipil di lingkungan ABRI dan keluarga ABRI sendiri.
Pengertian golongan karya juga sangat bias. Tidak hanya mencakup semua PNS tetapi juga mencakup semua karyawan di lingkungan BUMN dapat diklaim sebagai kader atau pendukung Golkar.
ABRI yang kini berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan terpisah dengan POLRI. Ketika itu mengemban dua fungsi, fungsi sipil dan fungsi militer. Yang dimana peran dari pegawai Negara ini mempertahankan keamanan dan ketahanan NKRI
Netralitas PNS sebenarnya telah merupakan tekad dari Pemerintah semenjak dimulainya era reformasi dengan dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan PP No  12 tahun 1999 yang antara lain memuat tentang larangan terhadap PNS  untuk menjadi pengurus dan anggota partai politik. Materi ini dimuat pula pada UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian seperti tertera pada pasal 3 ayat (3) yang berbunyi: “Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.”
Selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2004  tentang larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik disebutkan pada pasal 2 ayat (1) yang bunyinya: “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”, sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, Menteri PAN telah mengeluarkan Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005, antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan salah seorang calon Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakan fasilitas jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang menguntungkan salah seorang calon.
Netral dalam pengertian awan  “tidak punya warna” atau “putih bersih”, karenanya dia bisa berwarna kalau diwarnai, sebaliknya apabila tidak, maka dia akan tetap putih bersih dan mempunyai karakter sendiri yang tidak mengikuti pewarnaan dari yang lain. Artinya dalam keadaan netral ada kebebasan untuk mewarnai sendiri, memilih sendiri apa yang diinginkan, hanya diri sendiri yang tahu. Netral, bukan pula selalu sama dengan tidak melakukan pilihan yang sering disebut “golongan putih” atau “tidak mau tahu” ataupun “apatisme”. Justru itu, pengertian netral.
PNS, sebagai profesi yang bersentuhan langsung dengan birokrasi dan pemerintahan, diberikan suatu  amanat  terhadap pemerintahan Indonesia yang  berorientasi pada pelayanan publik dan sama sekali tidak melakukan tindakan diskriminatif juga loyat terhadap pemrintahan Indonesia . PNS dalam perspektif teori-teori birokrasi modern sangat menekankan pentingnya menghargai sikap netralitas, rasionalitas, inpersonalitas,  Selain itu harus menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalitas yang normatif dan bermoral.
Netralitas dalam konteks birokrasi yang demokratis dapat diinterpretasi sebagai sikap politik yang independen dan tidak berpihak pada partai politik tertentu, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak teriikat oleh siapapun, kelompok tertenti atau organisasi yang dimana mempengaruhi penerapan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan umum
Netralitas PNS sangat dibutuhkan bagi organisasi pemerintahan yang misi utamanya adalah mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat agar terwujud kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Pertama dengan netralitas, PNS tidak lagi terganggu dengan pekerjaan        pekerjaan yang diluar tugas dan tanggung jawabnya, sehingga lebih dfokus pada pekerjaannya.
Kedua, PNS  merasa lebih aman bekerja, punya kepastian masa depan dimana tergantung kepada hasil kerja dan prestasi kerjanya, tidak ada lagi faktor-faktor subjektif yang tidak punya standar yang pasti.
Ketiga, PNS akan berkompetisi secara sehat dalam menghasilkan prestasi, sehingga akan muncul inovasi baru dalam menyelesaikan suatu persoalan ataupun guna me­lancarkan penyelenggaraan pemerintahan.
Keempat, pemberian pelayanan akan lebih baik, karena tidak ada lagi sikap sikap yang diskriminatif ataupun adanya intervensi tertentu dalam memberikan pelayanan.
Kepatuhan atau loyal terhadap atasan hal itu juga yang dijunjung oleh pegawai negeri sipil namun dalam perwujudannya PNS hanya dapat menjalankan pekerjaan kalau pekerjaan tersebut untuk kepentingan kelancaran pemerintahan sesuai dengan peraturan perun­dangan, juga kalau untuk kepentingan bangsa dan negara, bukanlah untuk kepentingan subjektif dari seseorang walaupun yang bersangkutan adalah pimpinan. Dalam hal ini, loyalitas tidaklah hanya diukur dari segi kepatuhan seseorang pada pribadi pimpinan, tetapi kepatuhannya menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang dibebankan kepadanya, serta ketaatannya dalam menjalankan dan menegakkan peraturan perundangan.
dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan PP No  12 tahun 1999 yang antara lain memuat tentang larangan terhadap PNS  untuk menjadi pengurus dan anggota partai politik. Materi ini dimuat pula pada UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian seperti tertera pada pasal 3 ayat (3) yang berbunyi: “Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.”
Selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2004  tentang larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik disebutkan pada pasal 2 ayat (1) yang bunyinya: “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”, sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, Menteri PAN telah mengeluarkan Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005, antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan salah seorang calon Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakan fasilitas jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang menguntungkan salah seorang calon.
Dengan dikeluarkan Peraturan mengenai Pegawai Negeri Sipil diharapkan Pegawai negeri sipil dapat terhiondar dari kegiatan atau interpensi dari pengaruh politik namun ironisnya sekarang ini Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sudah terjemar dengan virus yang bernama politik hal ini terjadi disebabkan oleh dua faktor internal dan ekternal dari pegawai negeri sipil itu sendiri.
faktor internal, dan faktor eksternal. Internal adalah yang menyangkut PNS sendiri berupa: Pertama, kebiasaan bahkan sudah menjadi bakat seseorang untuk selalu ingin terlibat dalam kegiatan kegiatan politik praktis, kemungkinan karena terlalu lama berkecimpung di organisasi politik ataupun memang telah merupakan pendirian yang dianutnya.
Kedua, kurang percaya diri, kemungkinan karena tidak memiliki kemampuan baik dari segi pengetahuan ataupun ketrampilan yang dimilikinya, artinya tidak profesional.
Ketiga, ambisi yang besar untuk memperoleh jabatan tertentu, sehingga diharapkan dengan pemihakan ini akan diperoleh imbalan berupa jabatan yang akan diduduki.

Keempat, solidaritas yang kurang sesama PNS, sehingga masing masing PNS menyelamatkan diri masing-masing, yang dikenal dengan istilah “SDM” (selamatkan diri masing masing), ataupun juga terdapat “dendam” di antara PNS.
Kelima, primodialisme berupa hubungan kekeluargaan, kedaerahan, kepentingan materi, kesukuan dan sejenisnya.
Penyebab eksternal yaitu diluar diri PNS, berupa: Pertama, kebiasaaan atau kebijakan masa lalu yang cukup lama mempengaruhi pemikiran bahkan sikap dari PNS, yaitu adanya istilah monoloyalitas pada kelompok tertentu, bahkan kepada orang tertentu. Kedua, terdapat provokasi bahkan ancaman kepada PNS oleh pimpinan ataupun orang-orang yang ditugaskan pimpinan untuk mengajak PNS agar memihak. Ketiga, janji janji yang dilemparkan atau yang diutarakan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada PNS.  Keempat, masih lemahnya pengawasan dari yang berwenang terhadap yang melakukan pelanggaran aturan tentang netralitas ini, dan kurang tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Kelima, pemanfaatan peraturan perundangan oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menggunakan PNS bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Hal ini-inilah sebernarnya yang menganggu kinerja oleh pegawai negeri sipil itu dimana ruang gerak dari pegawai negeri sipil tersebut sempit dari hal terkecil sampai hal-hal yang vital sekalipun terpenggaruh oleh politik
Aturan yang dibuat untuk memberikan safety bagi Pegawai Negeri Sipil pun rusak karena pengaruh partai politik aturan yang dibuat hanya menjadi sebuah hiasan belaka yang tidak begitu berarti , karena semua hal gampang tunduk terhadap politik, hal kecil yang dijadikan sample adalah dalam peletakkan posisi jabatan yang vital yang seharus diperlukannya analisis jabatan yang memperhatikan beberapa aspek seperti masa kerja, kinerja, profesinalitas, proposinalitas, dan kualitas dari pegawai tersebut namun pada kenyataannya orang-orang yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan tersebut didepak ke tempat yang justru yang tidak begitu berpengaruh dengan jalannya roda pemerintahan atau bisa dikatakan “ kalau bisa dinon jobkan kenapa tidak” , kenapa ?? karena orang yang- yang berkompeten merupakan penghambat dalam mengsukseskan tujuan- tujuan tertentu yang diluar logika, sehingga apa yang terjadi sekarang faktor biologi kedekatan yang menjadi syarat utama untuk mendapatakan suatu jabatan yang mereka inginkan, berpura-pura menjadi manusia bertopeng menghilangkan prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh PNS yang tertuang di undang-undang PNS dan KODE ETIK PNS,
Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah kepala pemerintah yang berkendara oleh politik sehingga ketika kepala pemerintahan terpengaruh oleh politik hal ini akan berdampak pada seluruh lapisan birokrasi di Pemerintahan yang tercemar oleh politik.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka kedepan langkah yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut antara lain: 1). Segera dilakukan revisi terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun 1999  tentang Pokok pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa Pejabat pembina kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota, disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)  dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedu­dukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8 berbunyi: Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat karier tertingi pada pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
1) Sekretaris Daerah hendaknya diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi dan profesinalnya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang pengetahuan, keterampilan, track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan manajemen pemerintahan.
 2). Menghilangkan intervensi pejabat politis dalam menempatkan PNS  pada seluruh tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
3). Mutasi, rotasi, demosi maupun hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang ditetapkan dalam undang undang dan peraturan pemerintah.
4). Apabila ada PNS yang menang dalam perkara yang diajukan pada PTUN yang menyangkut status, kedudukan dan hak PNS, hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksa­nakan, dan kalau tidak dilaksanakan maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi tersebut diberi sanksi.
5). Pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini, sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS  untuk tidak berbuat netral.
7).        Politik adalah sebuah wadah yang digunakan untuk menapung aspirasi dari dan oleh masyarakat, sehingga layaknya dukungan pihak – pihak politk mendukung program-program yang dibuat oleh aparat birokrasi yang arah implementasiianya untuk masyarakat
8).        Meletakkan politik sesuai dengan porsinya bekerja dengan integritas untuk Negara dan daerah juga masyarakat
Kesemua hal ini bukanlah hal yang mustahil untuk daerah atau bangsa kita lakukan, perlu adanya komitmen dari masyarakat, politik dan pegawai negeri sipil tersebut dalam menenwujudkan hal ini, jangan ada saling interfensi menjatuhkan antara satu dengan yang lain bukankan Negara kita mengganut ideology pancasila yang dimana diikat oleh bhineka tunggal ika , sama kita majukan Negara kita kearah lebih baik dengan saling mendukung agar politik stabil dan netralitas PNS terjaga nama baiknya.
Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras dan perobahan pola pikir (mind set)  dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik.
Tentunya juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang mandiri dan profesional.
Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan dalam kebijakan dan tindakan. (pasti bisa)
(Setiap Orang Bebas Berargumen Untuk Menyampaikan Apa Yang Dipikirkan Namun Sesuai Dengan Normanya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar